Indonesia yang secara
geografis merupakan sebuah negara kepulauan dengan dua pertiga bagiannya
merupakan lautan dan sisanya adalah daratan, menjadikan Indonesia sebagai salah
satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Dalam laman website National Geographic Indonesia,
Badan Informasi Geospasial menyebutkan, total panjang garis pantai mencapai
99.093 kilometer dengan menggunakan sistem pengukuran panjang garis pantai
dilakukan pada tinggi muka laut rata-rata sesuai ketentuan PBB. Selain
menempati wilayah yang sangat luas, kawasan pesisir Indonesia terdiri dari
berbagai ekosistem, seperti estuaria, padang lamun, terumbu karang dan hutan
mangrove dengan ciri khas masing-masing dan memiliki keanekaragaman hayati
serta berbagai sumberdaya alam seperti ikan dan bahan-bahan tambang yang
bernilai tinggi (DKP, 2002). Hutan mangrove yang merupakan salah satu bagian
dari sumberdaya hayati dari ekosistem pesisir merupakan suatu komunitas pantai
tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak
yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1988).
Hutan mangrove Indonesia
memiliki total luas sekitar 25% dari luas keseluruhan hutan mangrove dunia yang
tersebar di 90 ribu kilometer garis pantai. Namun laju kerusakan hutan mangrove
di Indonesia merupakan yang tercepat dan terbesar di dunia. Dikutip dari laman
berita Tempo, Indonesia telah kehilangan sekitar 40% luas hutan mangrove
bersumber dari data Food and Agriculture Organization (FAO) 2007. Hal ini
disebabkan oleh alih fungsi lahan yang dijadikan sebagai tempat untuk tambak,
permukiman, industri, dan perkebunan. Pembalakan liar juga merupakan penyebab
lainnya dari kerusakan mangrove yang terjadi di pesisir Indonesia. Sesuai
dengan pernyataan tersebut, menurut Kusmana (2003) terdapat tiga faktor utama
penyebab kerusakan mangrove yaitu pencemaran, konversi hutan mangrove yang
kurang memperhatikan faktor lingkungan dan penebangan yang berlebihan. Tidak
dapat dipungkiri, fakta bahwa manusia perlu memenuhi kebutuhan untuk
kehidupannya sehari-hari walaupun dengan cara yang kurang memperhatikan aspek
lingkungan, salah satunya intervensi terhadap kawasan hutan mangrove. Karena
pada dasarnya hutan mangrove memiliki fungsi ekonomi seperti penghasil
keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri dan penghasil bibit. Dari
kerusakan hutan mangrove, pasti akan muncul dampak ekologis salah satu
sumberdaya hayati ini seperti hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang
menempati ekosistem mangrove dengan efek jangka panjang yaitu mengganggu
keseimbangan ekosistem mangrove dan ekosistem pesisir pada umumnya.
Tanjungpinang, merupakan
salah satu kota sekaligus ibukota provinsi dari Kepulauan Riau. Tanjungpinang
terletak di Pulau Bintan dan beberapa pulau kecil sekitarnya yaitu Pulau Dompak
dan Pulau Penyengat. Secara kordinat terletak 00o51’ – 00o59’
LU dan 104o23’ – 104o34’ dengan luasan wilayah sekitar
258,82 km2 dengan 42%-nya adalah wilayah laut. Secara administrasi,
Kota Tanjungpinang terbagi menjadi 4 kecamatan dengan 18 kelurahan di dalamnya,
salah satunya yaitu Kelurahan Dompak di Kecamatan Bukit Bestari. Kelurahan
Dompak memiliki luas wilayah sebesar 37,44 km2 dan terletak di
wilayah pesisir Kota Tanjungpinang dengan hutan mangrove yang dapat ditemukan
di sepanjang kawasan pesisirnya (BPS Tanjungpinang, 2016). Namun, keberadaan
hutan mangrove di wilayah pesisir barat Pulau Bintan salah satunya di Kelurahan
Dompak terus mengalami degradasi akibat berbagai tekanan dan pengelolaan yang
kurang memperhatikan aspek kelingkungan. Keadaan yang sama juga terjadi di
pulau kecil Kota Tanjungpinang yaitu Pulau Dompak, hutan mangrove musnah
disebabkan pembangunan jalan dan jembatan serta gedung-gedung perkantoran.
Luas kawasan ekosistem
mangrove yang ditemukan di Kelurahan Dompak yaitu 305,53 Ha yang berada di
muara Sungai Dompak. Di kawasan pesisir kelurahan ini dapat ditemukan beberapa
spesies mangrove, yaitu Rhizophora
apiculata (mangi-mangi), Rhizophora
mucronata (bakau hitam), Nypafruticans
(nipa), Sonneratia alba (pedada),
Avicennia alba (api-api), Xylocarpus granatum (nyireh) dan Scyphiphora hydrophyllaceae (prepat
lanang) dengan jenis terbanyaknya adalah spesies Rhizophora apiculata (Lestari, 2016). Dengan spesies-spesies mangrove yang ada perlu
dilakukan pelestarian terhadap ekosistem pesisir ini. Namun, kenyataannya perusakan
pada hutan mangrove akibat konversi lahan oleh masyarakat yang tinggal di
kawasan pesisir terus terjadi. Hampir 50% terdapat kerusakan hutan mangrove di
kelurahan ini. Pertambahan penduduk di Kelurahan Dompak berimplikasi terhadap
pemenuhan peningkatan kebutuhan lahan yang semakin tinggi dan berdampak pada
konversi lahan yang fungsi awalnya merupakan kawasan konservasi mangrove
berubah menjadi permukiman penduduk dan tambak ikan. Selain itu pemanfaatan
kayu mangrove yang dijadikan menjadi bahan pembuatan perahu oleh nelayan serta
terdapat penumpukan bekas pertambangan bauksit sekitar hutan mangrove di
kawasan tersebut semakin berkurang dan rusak. Sebagian besar mangrove yang
dibabat dan ditimbun yang dimanfaatkan sebagai permukiman akan mempengaruhi
tingkat abrasi dan menjadi penyebab banjir di sejumlah daerah Kota
Tanjungpinang. Dampak jangka panjang hilangnya mangrove yaitu putusnya siklus
hidup fauna yang hidup di hutan mangrove seperti ikan dan udang disekitarnya.
Dalam UU No. 32 tahun 2009
yang mengatur terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 87
ayat (1) menyebutkan bahwa setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan
hidup wajib membayar ganti ru#gi dan/atau tindakan tertentu. Berdasarkan pasal
tersebut, sebaiknya Pemerintah Daerah perlu memberlakukan sanksi pada
pihak-pihak yang melakukan kerusakan agar tidak terjadi terus-menerus kerusakan
hutan mangrove dan kelestariannya dapat terjaga. Pada UU No. 27 tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dijelaskan beberapa
larangan yang tidak boleh dilakukan pada wilayah pesisir, pasal 35 poin f dan
g, yaitu larangan melakukan konversi ekosistem mangrove di kawasan zona
budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis pesisir dan
pulau-pulau kecil serta menebang mangrove di kawasan konservasi untuk kegiatan
industri, permukiman, dan/atau kegiatan lain. Pelaku pelanggar yang dengan
sengaja melanggar pasal 35 UU No. 27 tahun 2007 akan diberi ganjaran berupa penjara
2 – 10 tahun dan denda sebesar 2 – 10 miliar rupiah. Sangat tegasnya
undang-undang yang mengatur ekosistem pesisir khususnya hutan mangrove
diharapkan dapat memberi efek jera bagi pelaku yang melanggar.
Agar hutan mangrove di
Kelurahan Dompak dapat terjaga kelestariannya, yaitu melibatkan masyarakat
serta pemerintah dalam upaya pelestarian hutan mangrove. Dalam pencegahan kerusakan
tanaman mangrove, masyarakat perlu ikut andil membantu Pemerintah Daerah dengan
cara pemberian bimbingan dan ilmu terkait mangrove dengan cara pelestarian
berwawasan ekologis serta mensinergikan antara tanaman mangrove dengan tambak
yang dibuat oleh masyarakat agar tidak mengganggu ekosistem mangrove. Perlu
melakukan rehabilitasi pada mangrove yang rusak akibat aktivitas masyarakat
yang tinggal sekitar kawasan pesisir Kelurahan Dompak agar mangrove yang rusak
dapat pulih. Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir seperti permukiman
yang berada di sempadan pantai, agar lahan tumbuhnya mangrove dapat meluas
kembali. Dari pihak Pemerintah Daerah, perlu melakukan perlindungan pada
kawasan hutan mangrove dengan cara pencagaran hutan mangrove. Serta perlunya
penegakan hukum yang tegas untuk menjaga lingkungan hidup dan pemberian sanksi
terhadap pelaku yang sengaja melanggar peraturan perundang-undangan yang telah
diatur oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
REFERENSI
Badan Pusat
Statistik, 2016, Tanjungpinang dalam
Angka 2016, Badan Pusat Statistik Tanjungpinang, Tanjungpinang.
Departemen
Kelautan dan Perikanan, 2002, Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan No. 10/Men Tahun 2000 tentang Pedoman Umum
Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, Departemen Kelautan dan Perikanan,
Jakarta.
Kusmana
et al, 2003, Ekologi Mangrove Fungsi dan
Manfaatnya, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lestari,
F 2016, ‘Komposisi Jenis dan Sebaran Ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir Kota
Tanjungpinang, Kepulauan Riau’, Dinamika
Maritim, vol. 4, no. 1, hh. 68-75.
Nybakken,
J W 1988, Biologi Laut Suatu Pendekatan
Ekologis, Gramedia, Jakarta.
Samantha,
G 2013, Terbaru: Panjang Garis Pantai
Indonesia Capai 99.000 Kilometer,
(http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/10/terbaru-panjang-garis-pantai-indonesia-capai-99000-kilometer
diakses pada 10 Maret 2017).
Saturi,
S 2013, Pembabatan Hutan Mangrove Marak
di Berbagai Daerah, (http://www.mongabay.co.id/2013/02/23/pembabatan-hutan-mangrove-marak-di-berbagai-daerah/
diakses pada 10 Maret 2017).
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Widianto,
E 2016, Laju Kerusakan Hutan Mangrove di
Indonesia Tercepat di Dunia,
(https://m.tempo.co/read/news/2016/10/13/058811899/laju-kerusakan-hutan-mangrove-di-indonesia-tercepat-di-dunia
diakses pada 10 Maret 2017).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar