Minggu, 19 Maret 2017

Kerusakan Ekosistem Mangrove Akibat Konversi Lahan Oleh Masyarakat Kelurahan Dompak, Tanjungpinang

Indonesia yang secara geografis merupakan sebuah negara kepulauan dengan dua pertiga bagiannya merupakan lautan dan sisanya adalah daratan, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Dalam laman website National Geographic Indonesia, Badan Informasi Geospasial menyebutkan, total panjang garis pantai mencapai 99.093 kilometer dengan menggunakan sistem pengukuran panjang garis pantai dilakukan pada tinggi muka laut rata-rata sesuai ketentuan PBB. Selain menempati wilayah yang sangat luas, kawasan pesisir Indonesia terdiri dari berbagai ekosistem, seperti estuaria, padang lamun, terumbu karang dan hutan mangrove dengan ciri khas masing-masing dan memiliki keanekaragaman hayati serta berbagai sumberdaya alam seperti ikan dan bahan-bahan tambang yang bernilai tinggi (DKP, 2002). Hutan mangrove yang merupakan salah satu bagian dari sumberdaya hayati dari ekosistem pesisir merupakan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1988).
Hutan mangrove Indonesia memiliki total luas sekitar 25% dari luas keseluruhan hutan mangrove dunia yang tersebar di 90 ribu kilometer garis pantai. Namun laju kerusakan hutan mangrove di Indonesia merupakan yang tercepat dan terbesar di dunia. Dikutip dari laman berita Tempo, Indonesia telah kehilangan sekitar 40% luas hutan mangrove bersumber dari data Food and Agriculture Organization (FAO) 2007. Hal ini disebabkan oleh alih fungsi lahan yang dijadikan sebagai tempat untuk tambak, permukiman, industri, dan perkebunan. Pembalakan liar juga merupakan penyebab lainnya dari kerusakan mangrove yang terjadi di pesisir Indonesia. Sesuai dengan pernyataan tersebut, menurut Kusmana (2003) terdapat tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove yaitu pencemaran, konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan penebangan yang berlebihan. Tidak dapat dipungkiri, fakta bahwa manusia perlu memenuhi kebutuhan untuk kehidupannya sehari-hari walaupun dengan cara yang kurang memperhatikan aspek lingkungan, salah satunya intervensi terhadap kawasan hutan mangrove. Karena pada dasarnya hutan mangrove memiliki fungsi ekonomi seperti penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri dan penghasil bibit. Dari kerusakan hutan mangrove, pasti akan muncul dampak ekologis salah satu sumberdaya hayati ini seperti hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang menempati ekosistem mangrove dengan efek jangka panjang yaitu mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove dan ekosistem pesisir pada umumnya.
Tanjungpinang, merupakan salah satu kota sekaligus ibukota provinsi dari Kepulauan Riau. Tanjungpinang terletak di Pulau Bintan dan beberapa pulau kecil sekitarnya yaitu Pulau Dompak dan Pulau Penyengat. Secara kordinat terletak 00o51’ – 00o59’ LU dan 104o23’ – 104o34’ dengan luasan wilayah sekitar 258,82 km2 dengan 42%-nya adalah wilayah laut. Secara administrasi, Kota Tanjungpinang terbagi menjadi 4 kecamatan dengan 18 kelurahan di dalamnya, salah satunya yaitu Kelurahan Dompak di Kecamatan Bukit Bestari. Kelurahan Dompak memiliki luas wilayah sebesar 37,44 km2 dan terletak di wilayah pesisir Kota Tanjungpinang dengan hutan mangrove yang dapat ditemukan di sepanjang kawasan pesisirnya (BPS Tanjungpinang, 2016). Namun, keberadaan hutan mangrove di wilayah pesisir barat Pulau Bintan salah satunya di Kelurahan Dompak terus mengalami degradasi akibat berbagai tekanan dan pengelolaan yang kurang memperhatikan aspek kelingkungan. Keadaan yang sama juga terjadi di pulau kecil Kota Tanjungpinang yaitu Pulau Dompak, hutan mangrove musnah disebabkan pembangunan jalan dan jembatan serta gedung-gedung perkantoran.
Luas kawasan ekosistem mangrove yang ditemukan di Kelurahan Dompak yaitu 305,53 Ha yang berada di muara Sungai Dompak. Di kawasan pesisir kelurahan ini dapat ditemukan beberapa spesies mangrove, yaitu Rhizophora apiculata (mangi-mangi), Rhizophora mucronata (bakau hitam), Nypafruticans (nipa), Sonneratia alba (pedada), Avicennia alba (api-api), Xylocarpus granatum (nyireh) dan Scyphiphora hydrophyllaceae (prepat lanang) dengan jenis terbanyaknya adalah spesies Rhizophora apiculata (Lestari, 2016).  Dengan spesies-spesies mangrove yang ada perlu dilakukan pelestarian terhadap ekosistem pesisir ini. Namun, kenyataannya perusakan pada hutan mangrove akibat konversi lahan oleh masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir terus terjadi. Hampir 50% terdapat kerusakan hutan mangrove di kelurahan ini. Pertambahan penduduk di Kelurahan Dompak berimplikasi terhadap pemenuhan peningkatan kebutuhan lahan yang semakin tinggi dan berdampak pada konversi lahan yang fungsi awalnya merupakan kawasan konservasi mangrove berubah menjadi permukiman penduduk dan tambak ikan. Selain itu pemanfaatan kayu mangrove yang dijadikan menjadi bahan pembuatan perahu oleh nelayan serta terdapat penumpukan bekas pertambangan bauksit sekitar hutan mangrove di kawasan tersebut semakin berkurang dan rusak. Sebagian besar mangrove yang dibabat dan ditimbun yang dimanfaatkan sebagai permukiman akan mempengaruhi tingkat abrasi dan menjadi penyebab banjir di sejumlah daerah Kota Tanjungpinang. Dampak jangka panjang hilangnya mangrove yaitu putusnya siklus hidup fauna yang hidup di hutan mangrove seperti ikan dan udang disekitarnya.
Dalam UU No. 32 tahun 2009 yang mengatur terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 87 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti ru#gi dan/atau tindakan tertentu. Berdasarkan pasal tersebut, sebaiknya Pemerintah Daerah perlu memberlakukan sanksi pada pihak-pihak yang melakukan kerusakan agar tidak terjadi terus-menerus kerusakan hutan mangrove dan kelestariannya dapat terjaga. Pada UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dijelaskan beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan pada wilayah pesisir, pasal 35 poin f dan g, yaitu larangan melakukan konversi ekosistem mangrove di kawasan zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis pesisir dan pulau-pulau kecil serta menebang mangrove di kawasan konservasi untuk kegiatan industri, permukiman, dan/atau kegiatan lain. Pelaku pelanggar yang dengan sengaja melanggar pasal 35 UU No. 27 tahun 2007 akan diberi ganjaran berupa penjara 2 – 10 tahun dan denda sebesar 2 – 10 miliar rupiah. Sangat tegasnya undang-undang yang mengatur ekosistem pesisir khususnya hutan mangrove diharapkan dapat memberi efek jera bagi pelaku yang melanggar.
Agar hutan mangrove di Kelurahan Dompak dapat terjaga kelestariannya, yaitu melibatkan masyarakat serta pemerintah dalam upaya pelestarian hutan mangrove. Dalam pencegahan kerusakan tanaman mangrove, masyarakat perlu ikut andil membantu Pemerintah Daerah dengan cara pemberian bimbingan dan ilmu terkait mangrove dengan cara pelestarian berwawasan ekologis serta mensinergikan antara tanaman mangrove dengan tambak yang dibuat oleh masyarakat agar tidak mengganggu ekosistem mangrove. Perlu melakukan rehabilitasi pada mangrove yang rusak akibat aktivitas masyarakat yang tinggal sekitar kawasan pesisir Kelurahan Dompak agar mangrove yang rusak dapat pulih. Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir seperti permukiman yang berada di sempadan pantai, agar lahan tumbuhnya mangrove dapat meluas kembali. Dari pihak Pemerintah Daerah, perlu melakukan perlindungan pada kawasan hutan mangrove dengan cara pencagaran hutan mangrove. Serta perlunya penegakan hukum yang tegas untuk menjaga lingkungan hidup dan pemberian sanksi terhadap pelaku yang sengaja melanggar peraturan perundang-undangan yang telah diatur oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.


REFERENSI
Badan Pusat Statistik, 2016, Tanjungpinang dalam Angka 2016, Badan Pusat Statistik Tanjungpinang, Tanjungpinang.
Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 10/Men Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Kusmana et al, 2003, Ekologi Mangrove Fungsi dan Manfaatnya, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lestari, F 2016, ‘Komposisi Jenis dan Sebaran Ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau’, Dinamika Maritim, vol. 4, no. 1, hh. 68-75.
Nybakken, J W 1988, Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis, Gramedia, Jakarta.
Samantha, G 2013, Terbaru: Panjang Garis Pantai Indonesia Capai 99.000 Kilometer, (http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/10/terbaru-panjang-garis-pantai-indonesia-capai-99000-kilometer diakses pada 10 Maret 2017).
Saturi, S 2013, Pembabatan Hutan Mangrove Marak di Berbagai Daerah, (http://www.mongabay.co.id/2013/02/23/pembabatan-hutan-mangrove-marak-di-berbagai-daerah/ diakses pada 10 Maret 2017).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Widianto, E 2016, Laju Kerusakan Hutan Mangrove di Indonesia Tercepat di Dunia, (https://m.tempo.co/read/news/2016/10/13/058811899/laju-kerusakan-hutan-mangrove-di-indonesia-tercepat-di-dunia diakses pada 10 Maret 2017).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar