Jumat, 15 Desember 2017

MANAJEMEN INFRASTRUKTUR PERKOTAAN SEBAGAI LANGKAH AWAL MEWUJUDKAN PUSAT KOTA BARU DI KELURAHAN KARANG JOANG, KOTA BALIKPAPAN

Kebutuhan ruang yang semakin meningkat akibat pertambahan penduduk di suatu kota menjadi salah satu tantangan bagi kota-kota di Indonesia. Banyaknya aktivitas yang terjadi, akan membutuhkan lahan untuk menampung aktivitas yang dilakukan, sehingga terjadi kepadatan dan lahan perkotaan semakin sulit menampung kegiatan yang ada di dalam kota, terutama permukiman. Sujarto (1995) berpendapat untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukannya pembangunan kota baru sebagai strategi yang paling baik, karena kota baru diharapkan menjadi pusat pertumbuhan wilayah baru dan mandiri tidak lagi tergantung pada kota induknya. Adanya kota baru berarti membangun suatu area bermukim yang besar dan “baru” yang diharapkan mampu meringankan beban kota induk melalui desain keruangan yang terencana, desentralisasi penduduk, distribusi ekonomi yang merata, dan juga penyediaan infrastruktur yang serba lengkap.
            Di Indonesia, pengembangan kawasan kota baru telah banyak dijumpai di beberapa kota besar, salah satunya megapolitan Jakarta. Di kawasan perkotaan Jakarta dibangun beberapa kota baru seperti Bumi Serpong Damai, Sentul City, Lippo, Kota Harapan Indah, dan Kota Wisata yang didirikan berdasarkan konsep, tujuan, luas kawasan, dan atau lokasi pengembangan kawasan kota baru yang dilengkapi infrastuktur penunjang di dalamnya sebagai pemenuhan public goods bagi masyarakat yang tinggal di kawasan kota baru tersebut.
             Salah satu kota yang merencanakan melakukan pengembangan kawasan kota baru yaitu Kota Balikpapan. Berdasarkan hasil proyeksi penduduk hingga tahun 2049, penduduk Kota Balikpapan telah mencapai angka 1 juta penduduk dengan status kota metropolitan, sehingga diperlukan adanya pengembangan pusat kota baru, terutama di daerah periferi Kota Balikpapan. Dalam Peraturan Daerah Kota Balikpapan Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan Tahun 2012 – 2032, pasal 62, pengembangan kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi Kota Balikpapan direncanakan pengembangan kawasan kota baru salah satunya berada di Kelurahan Karang Joang, Balikpapan Utara. Kelurahan dengan luas 93,09 km2 ini penggunaan lahan dominan adalah hutan mencapai 5.000 Ha. Potensi Kelurahan Karang Joang sebagai pusat kota kedua yaitu sebagai pusat perdagangan dan jasa, pendidikan, serta dari sisi ekologis terdapat hutan lindung sebagai penyokong idealnya ruang terbuka hijau di Kota Balikpapan. Namun dalam mewujudkan Kelurahan Karang Joang sebagai pusat kota kedua di Kota Balikpapan, diperlukan pembenahan terlebih dahulu dalam manajemen perkotaannya, salah satunya integritasnya sistem infrastruktur kota.
            Dalam UU Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, terdapat tiga bagian yang termasuk dalam infrastruktur dasar perkotaan, yaitu prasarana, sarana, dan utilitas. Prasarana merupakan segala sesuatu yang merupakan penunjang utama dalam berlangsungnya suatu proses, sarana merupakan segala sesuatu yang dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud dan tujuan, sedangkan utilitas merupakan sarana penunjang untuk membantu semua kegiatan dalam suatu bangunan dan gedung. Berdasarkan data yang telah dihimpun oleh Badan Pusat Statistik Kota Balikpapan tahun 2016, pada sarana perkotaan di Kelurahan Karang Joang seperti pendidikan, kesehatan, peribadatan, dan perniagaan dengan analisis kebutuhan sarana menggunakan indikator standar penduduk didapatkan data sebagai berikut.
Sarana
Jenis Sarana
Standar Penduduk
Kebutuhan
Eksisting
Keterangan
Pendidikan
TK
1250
17
2
Belum Terpenuhi
SD
1600
14
15
Terpenuhi
SMP
4800
5
3
Belum Terpenuhi
SMA
4800
5
2
Belum Terpenuhi
Kesehatan
Posyandu
1250
17
48
Terpenuhi
Puskesmas Pembantu
30000
1
5
Terpenuhi
Puskesmas
120000
1
1
Terpenuhi
Peribadatan
Langgar
45
464
21
Belum Terpenuhi
Masjid
300
70
20
Belum Terpenuhi
Perniagaan
Toko/Warung
250
84
64
Belum Terpenuhi
Pasar
30000
1
0
Belum Terpenuhi
            Dari data diatas, memperlihatkan bagaimana sarana-sarana yang ada di Kelurahan Karang Joang rata-rata belum terpenuhi unit kebutuhannya, kecuali pada sarana kesehatan yang dapat memberikan distribusi pelayanan pada masyarakat berdasarkan proporsi standar penduduk yang sudah ditetapkan pada Standar Nasional Indonesia terkait perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan. Sehingga perlu dilakukan penambahan unit pelayanan pada sarana yang belum terpenuhi jumlah kebutuhannya dengan mempertimbangkan keterjangkauan daerah pelayanan, sehingga distribusi pelayanan sarana dapat merata ke seluruh masyarakat yang tinggal di Kelurahan Karang Joang.
            Terkait aksesibiltas yang ada di Kelurahan Karang Joang terdapat satu jalan arteri primer yaitu Jalan Soekarno – Hatta berfungsi sebagai penghubung Kota Balikpapan dengan kota/kabupaten di arah utara seperti Kutai Kartanegara, Samarinda, Bontang dan wilayah lainnya. Semua pendistribusian barang dan orang dari atau menuju Kota Balikpapan serta aktivitas kendaraan berat milik industri yang ada di Kelurahan Karang Joang dan Kariangau melalui Jalan Soekarno Hatta. Karena aktivitas-aktivitas tersebut, berpengaruh pada tingkat pelayanan jalan. Berdasarkan data Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (RIJLLAJ) Kota Balikpapan 2011 – 2031, permodelan di tahun 2016 di salah satu segmen Jalan Soekarno Hatta rasio tingkat pelayanannya mencapai 2,01 (kelas F dengan batas lingkup ≥ 1) menunjukkan bahwa di Jalan Soekarno – Hatta terdapat arus lalu lintas yang dipaksakan dengan kecepatan rendah, volume kendaraan lebih besar daripada kapasitas jalan dan terdapat kemacetan di beberapa segmen jalan.  Diperlukan manajemen perencanaan transportasi yang dapat menyeimbangkan antara supply dan demand seperti melakukan pelebaran jalan pada beberapa segmen Jalan Soekarno – Hatta, terutama pada kondisi jalan yang bottle-neck (penyempitan), memperbaiki menejemen lalu-lintas, pengaturan arah, dan pengaturan lajur karena Jalan Soekarno – Hatta memiliki tingkat kemacetan yang sangat parah yang menyebabkan waktu tunda yang lama dan penurunan kecepatan.
            Pada utilitas terutama pada pelayanan jaringan listrik dan air sudah menjangkau Kelurahan Karang Joang. Distribusi pelayanan listrik di Kelurahan Karang Joang berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kota Balikpapan 2016 terlayani sekitar 5.257 kepala keluarga yang tersebar di kelurahan ini. Sedangkan pengguna jaringan air bersih dari PDAM terlayani sebanyak 5.049 kepala keluarga Kelurahan Karang Joang. Meskipun sudah menjangkau akan kebutuhan listrik dan air di kelurahan ini, namun masalah pemadaman listrik dan kebutuhan air bersih juga masih menjadi kendala bagi masyarakat, tidak hanya di Kelurahan Karang Joang namun di penjuru Kota Balikpapan juga merasakan. Jika disesuaikan dengan RTRW Kota Balikpapan 2012 – 2032, untuk permasalahan listrik direncanakan adanya penambahan kapasitas pembangkit listrik di Kota Balikpapan, salah satunya di PLTD Karang Joang dengan kapasitas 30 MW. Lalu untuk peningkatan sumber daya air bagi masyarakat Kota Balikpapan dilakukan peningkatan Bendungan Wain dengan luas sekitar 365 Ha, Waduk Manggar dengan luas sekitar 5.000 Ha, dan pengembangan Waduk Teritip dengan luas kurang lebih 38,80 Ha.
            Dengan melakukan pembenahan-pembenahan pada prasarana, sarana, dan utilitas di Kelurahan Karang Joang menjadi langkah awal mewujudkan Karang Joang sebagai kawasan pusat kota baru dan meminimalisir terjadinya disintegrasi sistem infrastruktur kota antara prasarana, sarana, dan utilitas. Perencanaan dan pembangunan PSU yang terpisah-pisah baik waktu maupun lokasi menyebabkan terjadinya missing link jaringan PSU yang berdampak pula pada fragmentasi struktur ruang. Diperlukan peran serta Pemerintah Kota untuk memperhalus jaringan PSU antara kawasan skala besar dalam hal ini adalah Kota Balikpapan dengan setiap kelurahan di dalamnya, melalui perencanaan matang dan terpadu.

Rabu, 11 Oktober 2017

STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN DAN ANCAMAN DEGRADASI EKOSISTEM PESISIR KECAMATAN ABELI, KOTA KENDARI

I.                  Pendahuluan

            Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting karena kawasan ini merupakan penyedia sumberdaya alam yang potensial serta bernilai strategis dalam pengembangan kawasannya. Kawasan pesisir juga memiliki topografi yang relatif datar dan memiliki akses yang sangat baik, dari darat maupun laut sebagai prasarana pergerakan. Menilik Indonesia sebagai salah satu negara bergaris pantai terpanjang di dunia yaitu mencapai 99.093 kilometer sehingga berisikan 516 kota dengan 216 kota diantaranya merupakan kota tepian air (waterfront city) tentu menjadi potensi dalam mengembangkan kawasan-kawasan pesisir di Indonesia (Suprijanto, 2007).
            Perkembangan kota pantai (waterfront city) di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan kegiatan utamanya perdagangan dan jasa serta pusat pemerintahan yang pada mulanya berada di kawasan pesisir (Mulyandari, 2010 dalam Marasabessy, 2013). Kawasan pesisir di Indonesia dlihat dari sejarahnya merupakan titik awal pertumbuhan suatu kota dan berfungsi sebagai pintu gerbang aktivitas perkotaan, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun budaya yang berorientasi ke laut (Laras, 2011). Kota pesisir juga memiliki tingkat kemajuan yang lebih cepat dibandingkan kota daratan. Hal ini disebabkan oleh lancarnya arus perdagangan antar pulau dimana wilayah pesisir menjadi simpul-simpul kegiatan perdagangan serta dalam perkembangannya, kota pesisir lebih cenderung melakukan pembangunan infrastruktur wilayah berupa pelabuhan, jalan, dan sarana prasarana lainnya guna mendukung percepatan pembangunan kota (Iswandi, 2015).
            Kota Kendari merupakan salah satu waterfront city di Indonesia dan merupakan ibukota dari Provinsi Sulawesi Tenggara. Karena kondisi topografi tepi pantai tersebut, terdapat dampak yang berpengaruh pada tingkat perekonomian di kota ini. Tahun 2016, dari lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai penyumbang terbesar dalam pertumbuhan ekonomi Kota Kendari sebesar 11,21% setelah lapangan usaha kontruksi dan perdagangan, atau secara detail dalam lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan khusus sektor perikanan berkontribusi sebesar 88,50% dan sisanya adalah sektor pertanian dan kehutanan. (BPS, 2016). Karena potensi tersebut, perlu diadakannya rencana dalam pengembangan kawasan pesisir salah satunya di Kecamatan Abeli, Kota Kendari dimana mempunyai banyak potensi sumberdaya yang dapat dikembangkan menjadi potensi pariwisata dan industri budidaya pesisir. Namun, dalam proses pengembangan kawasan pesisir di Kecamatan Abeli, terdapat beberapa permasalahan baik dari sisi lingkungan maupun sosial-budayanya.
            Dalam jurnal, “Pengembangan Kawasan Pesisir di Kecamatan Abeli, Kota Kendari” penulis melakukan penelitian untuk mengetahui tingkat perkembangan kawasan pesisir di Kecamatan Abeli dinilai dari kondisi eksisting dan masa mendatang, sehingga dapat dilakukan upaya untuk mengatasi kegagalan pengembangan yang mungkin timbul. Dari penelitian tersebut, maka dapat dilakukan kajian kritis terhadap isi jurnal terkait isu pesisir eksisting, pembahasan jurnal, serta hasil penelitian yang dipergunakan sebagai acuan serta evaluasi untuk melakukan penelitian sejenis di masa mendatang.

II.               Review

            Jurnal “Pengembangan Kawasan Pesisir di Kecamatan Abeli Kota Kendari” merupakan hasil karya tiga mahasiswa Universitas Halu Oleo yaitu Muis, La Sara, dan Dasmin Sidu. Sesuai dengan judulnya, penelitian dilakukan di Kecamatan Abeli, Kota Kendari dimana kecamatan ini langsung berbatasan dengan Teluk Kendari. Tujuan dari penelitian yaitu mengetahui tingkat perkembangan kawasan pesisir, persepsi para stakeholder mengenai pengelolaan kawasan pesisir, dan strategi pengembangan kawasan pesisir di Kecamatan Abeli.
            Kawasan pesisir Kecamatan Abeli memiliki potensi sumberdaya yang dapat dipertahankan dan dikembangkan berupa hutan mangrove, wisata pesisir yaitu Pantai Nambo dan Pulau Bungkutoko serta usaha budidaya laut (mariculture) yang hingga saat ini telah mencapai luasan 80 ha di Kecamatan Abeli. Namun, terdapat ancaman terhadap potensi sumberdaya tersebut yaitu mendorong terjadinya eksploitasi sumberdaya pesisir secara berlebihan, pencemaran perairan laut akibat limbah domestik dari permukiman dan limbah industri perikanan sekitar kawasan pesisir. Karena permasalahan tersebut, perlu langkah awal dalam upaya pengembangan kawasan pesisir secara berkelanjutan di Kecamatan Abeli dan menjadi alasan dilakukannya penelitian yang tertulis dalam jurnal tersebut.
            Untuk mengetahui tingkat perkembangan kawasan pesisir di Kecamatan Abeli maka penulis menyajikan data jumlah keluarga prasejahtera terutama di kelurahan-kelurahan pesisir. Sedangkan hasil analisis pendapat gabungan responden (pemerintah, swasta, dan masyarakat) dengan metode AHP terkait prioritas pemanfaatan dalam perumusan strategi pengembangan wilayah pesisir di Kecamatan Abeli didapatkan pengembangan perikanan memiliki nilai bobot tertinggi, disusul oleh pengembangan industri, pariwisata, dan pelabuhan peti kemas. Alternatif pertama strategi pengembangan yaitu pengembangan perikanan memiliki efek trigger pada alternatif setelahnya yaitu sebagai pengembangan industri, dimana pada Kecamatan Abeli hingga saat ini sebagian besar jenis industrinya adalah industri perikanan yang dibuktikan penulis dengan data jumlah industri besar/sedang dan tenaga kerja di Kecamatan Abeli.
            Pada bagian selanjutnya, penulis memaparkan pembahasan mengenai hasil analisis yang telah diperoleh dengan membaginya menjadi tiga sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tersebut. Pertama untuk tingkat perkembangan kawasan pesisir ditinjau dari 3 aspek yaitu aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek lingkungan. Aspek ekonomi merupakan aspek terpenting yang mempengaruhi pengembangan kawasan pesisir Kecamatan Abeli. Aspek ini mengangkat 3 kriteria yang merupakan faktor-faktor yang mungkin terjadi yaitu peningkatan pendapatan masyarakat, peluang usaha sektor informal, dan kesenjangan pendapatan. Faktor peningkatan pendapatan masyarakat memperoleh nilai bobot tertinggi dari responden, disebabkan masih tingginya jumlah keluarga prasejahtera di kelurahan-kelurahan pesisir di Kecamatan Abeli sehingga diperlukan upaya pengembangan usaha ekonomi berbasis sumberdaya pesisir yang mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Faktor yang mungkin terjadi selanjutnya adalah peluang munculnya usaha informal dan kesenjangan pendapatan setelah terjadinya pengembangan kawasan pesisir.
            Aspek sosial terbagi menjadi 3 kriteria dan merupakan faktor yang dapat dirasakan setelah terjadinya pengembangan kawasan pesisir Kecamatan Abeli yaitu penyerapan tenaga kerja, tersedianya akses pelayanan, dan kesenjangan kesempatan kerja. Prioritas pertama dengan nilai bobot tertinggi adalah kriteria penyerapan tenaga kerja yang tentu akan berimplikasi pada peningkatan taraf hidup masyarakat. Prioritas selanjutnya adalah tersedianya akses pelayanan berupa infrastruktur, perizinan, dan pelayanan pembinaan dan prioritas terakhir dengan nilai bobot terendah adalah kesenjangan kesempatan kerja karena masyarakat menilai faktor penyebab kesenjangan kesempatan kerja adalah faktor permodalan.
            Pandangan responden terkait aspek lingkungan dalam pengembangan kawasan pesisir Kecamatan Abeli relatif kecil, dibuktikan dengan nilai bobot yang diperoleh dari hasil analisis pada setiap kriterianya yang cukup rendah dibandingkan dengan kriteria-kriteria pada kedua aspek sebelumnya. Kriteria aspek lingkungan terdiri dari konservasi lingkungan, keamanan dan kenyamanan, dan pencemaran lingkungan. Kriteria dengan nilai bobot tertinggi adalah konservasi lingkungan dimana kegiatan-kegiatan yang dilakukan di kawasan pesisir perlu dikendalikan agar tidak terjadi penurunan kualitas lingkungan. Kriteria selanjutnya yang menjadi prioritas responden adalah keamanan dan kenyamanan yang menggambarkan bahwa masyarakat mempunyai keinginan untuk hidup dalam lingkungan yang aman dan menjamin ketentraman masyarakat di kawasan pesisir. Kriteria terakhir adalah pencemaran lingkungan, masih kurangnya kesadaran masyarakat menjaga lingkungan kawasan pesisir menyebabkan penurunan kualitas lingkungan di Kecamatan Abeli, dengan kontribusi pencemaran lingkungan terbesar berasal dari industri pengolahan ikan.
            Persepsi stakeholder terhadap arah pengembangan dan pengelolaan kawasan pesisir secara keseluruhan berdasarkan hasil analisis AHP yang dilakukan penulis berdasarkan nilai bobot tertinggi berturut-turut yaitu pengembangan perikanan, industri, pariwisata dan pelabuhan peti kemas. Mengenai strategi pengembangan kawasan pesisir Kecamatan Abeli yang menjadi prioritas utama adalah pengembangan budidaya laut (perikanan) dan merupakan kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan pendapatan, membuka peluang usaha sektor informal, serta mengurangi kesenjangan antara masyarakat. Alternatif strategi selanjutnya adalah pengembangan pariwisata yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan alternatif lainnya adalah sebagai pelabuhan peti kemas.

III.           Kajian Kritis

            Kajian penulis jurnal “Pengembangan Kawasan Pesisir di Kecamatan Abeli Kota Kendari” memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan terkait isi pembahasan serta metode yang digunakan. Kelebihan yang dapat ditemukan adalah tujuan penelitian secara keseluruhan telah terjawab dengan pemaparan sistematis yang disajikan dengan sub-bagian pada bagian pembahasan, sehingga memudahkan pembaca untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang diangkat. Lalu, untuk pemilihan responden oleh penulis yang terdiri dari pemerintah, swasta dan masyarakat sudah tepat karena ketiga unsur responden tersebut merupakan stakeholder atau aktor pengguna dalam pengembangan kawasan pesisir di Kecamatan Abeli.
            Beberapa kelemahan dapat ditemukan dari penulisan jurnal. Pertama adalah tidak adanya kajian pustaka yang dapat mendukung proses analisis yang dilakukan mengenai pengembangan kawasan pesisir. Hanya ada bagian pendahuluan, metode penelitian, hasil analisis, pembahasan, dan penutup. Sebagai perbandingan, jurnal sejenis yang mengangkat penelitian terkait kawasan pesisir yaitu “Analisis Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir Kecamatan Bontoharu Kabupaten Kepulauan Salayar” oleh Manaf terdapat penjelasan mengenai zonasi wilayah pesisir yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan terbatas, dan zona lainnya. Jika penulis dalam jurnal ini memasukkan kajian pustaka tersebut maka akan mendukung hasil analisis dalam memberikan strategi pengembangan kawasan pesisir sesuai dengan pedoman sistem zonasi yang tertuang dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terkait zona pemanfaatan terbatas yang diperuntukkan sebagai perlindungan habitat dan populasi ikan, pariwisata dan rekreasi, penelitian, pengembangan, dan/atau pendidikan.
            Selanjutnya, tidak adanya penjelasan bagaimana karakteristik spasial atau karakteristik fisik serta ekosistem pesisir apa yang ada di kelurahan-kelurahan pesisir Kecamatan Abeli, sehingga tidak dapat memberikan gambaran bagi pembaca bagaimana kondisi kawasan pesisir di daerah tersebut. Karakteristik spasial dapat menjelaskan bagaimana kondisi geografis dan morfologi dari kawasan pesisir seperti lereng pantai, jenis pantai dan bentukan-bentukan lainnya di kawasan pesisir. Karakter fisik menjelaskan bagaimana kondisi eksisting lingkungan di kawasan pesisir, sedangkan ekosistem pesisir merupakan komponen hayati dan nir-hayati yang berada pada suatu himpunan lingkungan, contohnya terdiri dari ekosistem estuaria, hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Berdasarkan jurnal “Program Peningkatan Kesadaran Masyarakat tentang Pelestarian Mangrove Berbasis Masyarakat di Pesisir Pantai Sambuli Kecamatan Abeli Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara” disebutkan di Kecamatan Abeli memiliki karakteristik ekosistem pesisir berupa hutan mangrove.
            Diluar isi dari jurnal yang dibahas, terdapat isu kerentanan pesisir di Kecamatan Abeli yaitu keadaan hutan mangrove di kecamatan ini mengalami degradasi ekosistem mangrove yang disebabkan oleh eksploitasi masyarakat sekitar kawasan pesisir. Di Sulawesi Tenggara sendiri berdasarkan citra satelit tahun 1992 hutan mangrove ditemukan seluas 96.200 Ha dan tahun 2000 menjadi 15.326,9 Ha (Soesilo, 1996 dalam Salam, 2006). Dalam jangka waktu 8 tahun saja, di Provinsi Sulawesi Tenggara mengalami degradasi ekosistem mangrove sebanyak 84% disebabkan pembukaan lahan baru sebagai permukiman, industri, tambak dan jalan raya. Degradasi ekosistem mangrove berimplikasi negatif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir Kecamatan Abeli, seperti abrasi pantai yang signifikan, penurunan kualitas air, produktivitas perairan dan biota laut akan menurun. Faktor yang mempengaruhinya adalah kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat pentingnya ekosistem pesisir. Sejalan dengan penelitian dalam jurnal yang dibahas, pada tingkat perkembangan kawasan pesisir persepsi responden terkait aspek lingkungan dianggap kurang berpengaruh pada penentuan prioritas arahan pengembangan kawasan pesisir Kecamatan Abeli. Kegiatan pesisir seperti perikanan, pariwisata, dan industri yang dilakukan di kecamatan tersebut kurang mempertimbangkan segi ekologisnya yang berdampak pada degradasi ekosistem pesisir. Padahal secara tidak langsung dapat mengakibatkan berkurangnya hasil tangkapan laut dan pendapatan masyarakat bermata pencaharian nelayan karena luas habitat biota pesisir dan laut yang semakin berkurang. Sehingga dapat ditarik garis besarnya aspek lingkungan menjadi suatu pertimbangan besar dalam perumusan strategi pengembangan kawasan pesisir terutama di Kecamatan Abeli.
            Sudah tertulis pada bagian sebelumnya bahwa aspek ekonomi menjadi prioritas terpenting dalam penentuan arahan pengembangan kawasan pesisir berdasarkan hasil penelitian pada jurnal yang dibahas. Ini disebabkan penduduk Kecamatan Abeli terutama di kelurahan-kelurahan pesisir banyak yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Kendari jumlah nelayan yang tersebar di 45 kelurahan pesisir mencapai 3400-an jiwa, dan sekitar 2000-an jiwa diantaranya berada di Kecamatan Abeli. Rata-rata penduduk dengan mata pencaharian sebagai nelayan merupakan keluarga pra-sejahtera sehingga memerlukan pengembangan kapasitas usaha ekonomi yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakatnya.
            Sejalan dengan aspek ekonomi sebagai prioritas arah pengembangan berdasarkan persepsi tiga stakeholder yang dijadikan sebagai sampel penelitian dalam jurnal yang dibahas yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat sepakat pada pengembangan perikanan sebagai prioritas pemanfaatan kawasan pesisir. Didukung dengan hasil analisis dalam jurnal bahwa strategi pengembangan kawasan pesisir di Kecamatan Abeli adalah perikanan. Jika disesuaikan dengan Peraturan Daerah Kota Kendari Nomor 1 Tahun 2012 tentang RTRW Kota Kendari Tahun 2010 – 2030, disebutkan dalam pasal 42 mengenai penetapan rencana pengembangan kawasan strategis Kota Kendari, Kecamatan Abeli merupakan kawasan pengembangan minapolitan yang memiliki nilai ekonomi dan transportasi strategis skala regional. Menilik peraturan diatasnya yaitu Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 35/KEPMEN-KP/2013 tentang Penetapan Kawasan Minapolitan, Kota Kendari merupakan salah satu dari 179 kota/kabupaten di Indonesia sebagai kawasan strategis minapolitan Nasional, dengan pendetailan daerahnya berdasarkan RTRW Kota Kendari yaitu di Kecamatan Abeli. Sehingga terdapat sinkronisasi antara hasil penelitian jurnal yang dibahas dengan peraturan perundang-undangan.

IV.           Rekomendasi

            Terjadinya degradasi ekosistem pesisir di Kecamatan Abeli yaitu pada hutan mangrove mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman satwa di daerah pesisir, pengikisan pantai meningkat, kemampuan ekosistem menahan gelombang dan tiupan angin berkurang, dan dampak-dampak merugikan lainnya. Kerusakan hutan mangrove dapat diperbaiki dengan beberapa solusi seperti penanaman kembali mangrove di Kecamatan Abeli dengan melibatkan masyarakat sehingga pemulihan, pemeliharaan, dan pemanfaatan kawasan pesisir dapat berlangsung secara terus-menerus (community based), melakukan pengaturan ulang tata ruang wilayah pesisir sekitar kawasan hutan mangrove, dan dapat diterapkannya pajak lingkungan kepada industri-industri yang berlokasi di kawasan pesisir agar dapat mengendalikan pencemaran yang dilakukan di Kecamatan Abeli.
            Terkait perumusan strategi pengembangan kawasan pesisir di Kecamatan Abeli yaitu sebagai kawasan perikanan (minapolitan) perlu mempertimbangkan kembali berbagai aspek berkelanjutan selain aspek ekonomi yang menjadi prioritas penentu arahan pengembangan, yaitu aspek lingkungan dan aspek sosial. Aspek lingkungan yang sudah dijelaskan diatas perlu melakukan pembenahan atas degradasi ekosistem mangrove yang terjadi sebelum melakukan pengembangan dan pemanfaatan kawasan pesisir untuk kegiatan perikanan. Pemanfaatan sumberdaya ikan juga tidak boleh melebihi kemampuan pulih, eksploitasi sumberdaya kelautan harus dilakukan dengan cara-cara yang ramah lingkungan dan pembuangan limbah yang tidak melebihi kapasitas asimiliasi lingkungan laut. Pada aspek sosial, memandang pentingnya penekanan demokratisasi, pemberdayaan, peran serta, transparansi dan keutuhan budaya sebagai kunci untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan di kawasan pesisir Kecamatan Abeli.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. 2016. Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Kota Kendari Tahun 2012-2016. Badan Pusat Statistik Kota Kendari. Kendari.
Iswandi, R. Marsuki. 2015. Perencanaan dan Pengembangan Kota Pesisir Berwawasan Lingkungan. Unhalu Press. Kendari.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 35/KEPMEN-KP/2013 tentang Penetapan Kawasan Minapolitan.
Laras, Bambang Kanti. 2011. “Desain Kebijakan Pengelolaan Waterfront City Kota Semarang”. Disertasi. Program Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Marasabessy, Firdawaty. 2013. “Analisis Infrastruktur Kota di Kawasan Waterfront: Studi Kasus Kota Ternate”. Tesis. Program Pascasarjana Ilmu Perencanaan Wilayah, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Muis, La Sara, dan Dasmin Sidu. 2015. ‘Pengembangan Kawasan Pesisir di Kecamatan Abeli Kota Kendari’. Jurnal Bisnis Perikanan FPIK UHO. Vol. 2, no. 1, hh. 1-16.
Salam, Ashri, Murfain, dan Ali Rahmat. 2006. ‘Program Peningkatan Kesadaran Masyarakat Tentang Pelestarian Mangrove Berbasis Masyarakat di Pesisir Pantai Sambuli Kecamatan Abeli Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara’. Jurnal PKMK FPIK UHO. hh 1-8.
Suprijanto. 2007. Karakteristik Spesifik, Permasalahan dan Potensi Pengembangan Kawasan Kota Tepi Laut/Pantai (Coastal City) di Indonesia. Proceeding Studi Dampak Timbal Balik Antar Pembangunan Kota dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan Global. hh 289-308.

Peraturan Daerah Kota Kendari Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Kendari Tahun 2010 – 2030.